Me myself mine

Me myself mine
merlitasari

page

Sabtu, 29 Mei 2010

LOVE COMES 'N GOES BUT FRIENDSHIP ALWAYS COME 'N NEVER GOES

FRIENSHIP 4EVER.........


Meski mereka ini kadang menyebalkan, tapi without them jurusan bahasa korea nggak bakal seru...hahahahah....mereka ini yang selalu memberiku senyuman setiap hari, pembelajaraan, saling ketergantungan satu m yang laen maksudnya dalam hal pinjam-pinjaman duit..hahahahaahah..dan yang membuat ultahku ke 20 “SANGAT BERMAKNA”!!!ckckck...^^O^^...senyum yang hampir setiap waktu kami berikan, menjadi penyemangat kami untuk kuliah, meski tak jarang kami berceloteh g penting, g karuan tetep aja kita bahas biar rame,hahahaha.... biarkan orang lain memandang sebelah mata pada kami, karena orang itu tidak tau siapa kami sebenarnya..karena kami adalah ..POWER RANGERS!!!!hhhhhahahahaahah..............kagag nyambung..
kami bukan dari golongan atas, bukan juga golongan bawah, tapi kami golongan semuanya..karena hanya kita yang bisa diterima semuanya...hhahahahaha...mengutip Kata-kata DEJE yang telah dimodifikasi...”WE ARE NOT PERFECT BUT WE LOVE YOU PERFECT”...pemebela kebenaran dn keadilan POWER RANGERSS!!!!hahhhhahaha.......kumat gila’nya



Senin, 24 Mei 2010

Matahari Tidak Pernah Terbenam di Negeri Senja

Cerpen by Seno Gumira

Hidupku penuh dengan kesedihan – karena itu aku selalu mengembara. Aku selalu berangkat, selalu pergi, selalu berada dalam perjalanan, menuju ke suatu tempat entah di mana, namun kesedihanku tidak pernah hilang. Kesedihan, ternyata, memang bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, karena kesedihan berada di dalam diri kita. Aku selalu mengira kalau melakukan perjalanan jauh maka kesedihan itu akan bisa hilang karena tertinggal jauh di belakang, tapi itu tidak pernah terjadi. Ada segaris luka dalam hatiku yang telah mendorong aku pergi jauh dari kampung halamanku dan sampai sekarang belum pernah kembali.
Mungkin aku tidak akan pernah kembali meskipun kesedihanku suatu hari akan hilang. Aku sudah terlanjur tidak pernah merasa punya rumah, dan tidak pernah merasa harus pulang ke mana pun dan aku menyukainya. Barangkali kesedihanku tidak akan pernah hilang tapi sudahlah, aku tidak ingin memanjakan perasaan. Aku sudah selalu membiasakan diriku hidup bersama dengan kesedihan – apa salahnya dengan kesedihan? Apa salahnya dengan duka? Apa salahnya dengan luka? Setelah mengembara bertahun-tahun lamanya aku belajar hidup bersama dengan kesedihan, kesepian, dan keterasingan. Semua itu tidaklah mudah, tapi apalah yang bisa diperbuat oleh seseorang dalam perantauan? Aku ini seorang pengembara, cuma seorang musafir lata yang tiada bersanak dan tiada berkawan, pergi dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan – sia-sia mencoba menghilangkan kesedihan.
Kemudian, setelah bertahun-tahun melakukan perjalanan, akhirnya aku mempunyai juga tujuan, atau semacam tujuan, setidaknya suatu alasan yang membuat aku terus menerus melakukan perjalanan nyaris tanpa berhenti kecuali untuk mengumpulkan tenaga kembali. Aku selalu pergi, selalu berjalan, karena selalu ingin mengenal sesuatu yang lain, yang belum kukenal, dan betapa banyak keindahan yang terdapat di dunia yang luas terbentang. Aku telah berjalan dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Dari kota ke kota, dari kampung ke kampung, keluar masuk hutan, mengarungi wilayah dan mendapat pengalaman. Aku selalu melakukan perjalanan sendirian, dan karena itu aku banyak merenung. Sambil melihat pemandangan yang tidak pernah kusaksikan, aku berpikir tentang kehidupan. Membayangkan bumi terbentang yang dulu tidak dihuni manusia, aku merenungkan makna kebudayaan. Melewati padang salju membeku, padang rumput menghijau, dan pantai-pantai membiru, aku memikirkan manusia dan alam.
Aku telah menyeberangi tujuh lautan, mendaki duapuluh gunung, menjelajahi tiga gurun, dan menyuruk ke perkampungan suku-suku terpencil, namun aku tidak pernah merasa bisa tinggal di suatu tempat agak lebih lama. Di tempat yang paling nyaman, makmur, dan indah pun aku selalu merasa gelisah. Selalu ada cakrawala baru yang ingin kurengkuh, dari ujung dunia yang satu ke ujung dunia yang lain. Barangkali rumahku adalah perjalanan itu sendiri. Aku senang tidur di bawah pohon di padang terbuka, berselimut jerami di dalam gerobak, terkantuk-kantuk di atas keledai, atau telentang menatap rembulan di dalam sampan yang dibawa arus pelahan. Betapa berumah aku dalam pengembaraan.
Begitulah, suatu ketika dalam perjalananku tibalah aku di Negeri Senja, yang seperti tiba-tiba saja muncul di hadapanku setelah menyeberangi sebuah gurun selama dua minggu. Dari jauh, Negeri Senja cuma bayangan hitam tembok-tembok beku perbentengan yang tua. Benteng semacam itu sudah tidak ada artinya lagi sekarang, apalagi benteng itu pun nyaris merupakan reruntuhan, menjadi warisan sejarah yang tidak terurus. Dari jauh, Negeri Senja hanya tampak sebagai bayangan hitam karena di latar belakangnya tampaklah lempengan bola matahari raksasa yang jingga dan membara itu memenuhi ruang, menyebabkan langit di atas itu semburat jingga dengan tepian mega-mega yang telah menjadi keemasan.
Aku masih jauh dari kota ketika sejumlah orang bersorban mencegat aku di balik bukit pasir.
Seseorang bicara dengan bahasa antarbangsa yang fasih.
“Tuan, apakah Tuan yang selama ini kami tunggu?”
“Pasti bukan, siapakah yang kalian tunggu?”
“Kami menunggu Penunggang Kuda dari Selatan.”
“Siapakah itu?”
“Dia adalah orang yang akan menyelamatkan kami.”
“Menyelamatkan? Dari apa?”
“Dari segalanya.”
Aku perhatikan mereka. Apakah mereka sudah kehilangan akal? Sudah jelas aku menunggang unta, bukan kuda.
“Kalian lihat, aku tidak menunggang kuda.”
“Barangkali saja Tuan mengganti kuda Tuan dengan unta sebelum menyeberangi gurun.”
“Yah, itu memang mungkin, tapi aku bukan Penunggang Kuda dari Selatan, aku datang dari
Timur Jauh.”
“Oh, maafkan kami Tuan, kami sudah bertahun-tahun menanti di sini, dan kami sudah gelisah.
Kami menanyai setiap orang yang datang dari selatan.”
Ketika aku berlalu, kulihat sejumlah orang itu memandang ke selatan kembali. Di mata mereka terpancar harapan, tapi harapan yang sudah memudar. Apakah kiranya yang mereka alami sehingga begitu berharap seperti itu? Menunggu seseorang yang bisa menyelamatkan mereka entah dari apa, sampai bertahun-tahun lamanya, bukanlah peristiwa biasa. Siapa pula Penunggang Kuda dari Selatan yang sangat diharap-harapkan itu? Siapakah orangnya yang begitu perkasa sehingga begitu diharapkan akan pasti bisa menyelamatkan sejumlah orang dari sesuatu yang aku belum tahu apa?
Segalanya serba keemasan ketika aku memasuki kota itu, serba merah keemas-emasan karena siraman cahaya matahari separuh yang bertengger di cakrawala itu. Kulihat cahaya senja seperti jalinan lembut benang-benang emas yang terpancang, dari matahari langsung ke jendela, ke dinding, ke pohon, dan ke daun-daun. Seperti garis-garis, seperti balok-balok, seperti tiang-tiang yang direbahkan. Rasanya baru sekali ini aku melihat cahaya berleret-leret begitu nyata, seolah-olah benda padat yang bisa dipegang. Tapi tentu saja cahaya bukan benda padat dan orang-orang berkerudung, bersorban, dan bersarung melewatinya sehingga cahaya itu seperti riak kolam yang tersibak-sibak. Cahaya itu menjadi terang dan gelap karena orang-orang yang lewat dan karena itu Negeri Senja seperti sebuah kota yang tenggelam dalam lautan cahaya sepenuhnya. Aku hanya seperti sebuah bayang-bayang yang berjalan. Kulihat bayang-bayangku sendiri menunggangi unta di tembok-tembok kota.
Aku berjalan menyusuri kota menunggang seekor unta tua yang telah membawaku menyeberangi gurun bersama rombongan kafilah para pedagang garam. Menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, memang hampir segalanya berwarna keemasan. Aku tidak melihat warna biru, aku tidak melihat warna hijau, apalagi warna merah jambu – segalanya adalah warna-warna senja. Warna, cahaya, dan suasana yang hanya ada apabila matahari akan terbenam. Dinding-dinding keemasan, tapi banyak juga ruang yang gelap dan temaram. Lorong-lorong suram dan tenggelam dalam bayangan hitam.
“Mau ke manakah Tuan, mencari penginapan? Marilah saya antar. Saya tahu penginapan yang murah dan menyediakan makan untuk unta Tuan. Marilah saya antar, supaya hari ini ada sepotong roti yang bisa saya makan.”
Aku sudah begitu lelah. Menyeberangi gurun pasir selama dua minggu bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Aku menyerah saja kepada anak kecil yang bicara dengan bahasa antarbangsa terpatah-patah itu. Ia menghela tali untaku menuju ke sebuah penginapan sementara aku menoleh ke kiri dan ke kanan dengan lesu. Angin berpasir yang sudah dua minggu terus menerus menimpaku belum juga hilang sampai di dalam kota ini. Wajahku penuh dengan debu dan begitu juga wajah banyak orang di kota ini. Semua orang seperti memakai bedak tapi jelas itu bukan bedak. Mereka menutupi wajah mereka dengan kain yang juga melindungi rambut mereka dari angin yang berpasir. Jadi di mana-mana aku cuma melihat mata. Itulah mata yang memandang dengan tajam, dengan suram, atau dengan bertanya-tanya. Apalah yang bisa kita katakan dari sebuah pandangan mata?
Kuhirup aroma setanggi yang mengalir dari sebuah jendela. Ketika aku menengok ke jendela itu, muncul wajah seorang wanita yang bercadar. Dari balik cadarnya yang tipis kulihat ia tersenyum. Bibirnya begitu merah tertimpa cahaya, dan ia membawa anglo kecil berisi dupa.
Jadi kini aroma setanggi bercampur aroma dupa, dan aroma itu makin lama makin tajam karena agaknya aroma itu mengalir dari setiap jendela dan pintu. Angin yang berpasir akan selalu membuyarkannya tetapi aroma itu akan selalu mengalir kembali. Aku tenggelam dalam sebuah suasana yang menekan. Orang-orang di jalanan tak banyak berbicara dan di jalanan itu pun kepala mereka lebih sering tertunduk. Kepala-kepala tertunduk itu kadang-kadang terangkat melihatku dan aku hanya akan melihat mata dari kepala-kepala itu. Aku merasa gagal membaca sesuatu dari mata mereka. Apakah kiranya yang mereka baca dari mataku.
Aku pun menundukkan kepalaku supaya tidak tampak terlalu asing karena selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Apakah cahaya senja yang temaram meski keemas-emasan itu yang membuat suasana tampak menekan? Aku telah mengalami seribu senja di seribu kota dan memang senja selalu memberikan kepada kita perasaan yang rawan, namun agaknya ada sesuatu yang lain di kota ini entah apa, sesuatu yang berat dan menekan.
Sebenarnyalah aku tidak pernah mengenal Negeri Senja sebelumnya. Aku hanya pernah mendengar namanya di sebuah kedai, ketika seorang musafir yang pandai bercerita dalam bahasa yang kukenal dikerumuni para pengunjung. Ia menceritakan suatu hal yang sangat sulit dipercaya, yakni bahwa matahari tidak pernah terbenam di Negeri Senja.
“Bagaimana itu mungkin?”
“Itulah yang juga menjadi pertanyaanku, bagaimana itu mungkin, sedangkan di sini matahari timbul dan tenggelam seperti biasa. Bukankah matahari itu-itu juga yang tampak di setiap negeri di muka bumi? Kalau matahari di Negeri Senja itu memang tersangkut di cakrawala, mestinya di negeri lain keadaannya juga tidak pernah berubah. Tapi ini tidak, hanya di Negeri
Senja matahari tidak pernah terbenam.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Itulah pertanyaanku juga, kenapa bisa begitu?”
Negeri Senja memang tidak terdapat di dalam peta, ia ada tapi tiada – hanya para pengembara yang kebetulan kesasar saja yang mengenalnya, dan mereka pun tidak pernah menganjurkan untuk datang ke sana.
“Tidak ada apa-apa di sana,” katanya, “selain kemiskinan, kejahatan, dan penindasan.”
“Tentang matahari yang tidak pernah terbenam itu?”
“Kenapa?”
“Tidak ada yang tertarik menyelidikinya?”
“Wah, orang-orang Negeri Senja menganggapnya biasa.”
“Biasa?”
“Ya, biasa. Mereka sudah biasa hidup seperti itu.”
“Hidup dengan matahari tidak pernah terbenam?”
“Hidup dengan matahari tidak pernah terbenam.”
“Apakah negeri seperti itu memang benar-benar ada?”
“Para ahli ilmu alam juga tidak percaya. Mereka tidak mau membuang waktu mencari Negeri Senja. Tapi aku pernah ke sana. Percayalah bahwa ceritaku ini bukan karangan.”
Aku juga tidak ingin percaya ketika mendengarnya. Para musafir yang kadang-kadang kujumpai memang ada juga yang suka membual. Namun pada suatu hari ketika sedang duduk beristirahat di bawah sebatang pohon, datanglah kafilah para pedagang garam itu. Mereka mengisi kantung-kantung air yang terbuat dari kulit. Dari jumlahnya tampak akan mengadakan perjalanan jauh.
“Mau ke mana sahib?”
“Mau ke Negeri Senja.”
Kini aku berada di Negeri Senja. Karena lelah dan lesu, aku lupa persoalan matahari tersebut. Nanti, ketika aku terbangun, dan membuka jendela penginapan yang kumal itu., barulah aku akan menyadari, matahari ternyata memang tidak pernah terbenam di Negeri Senja.
“Kita sudah sampai,” kata anak kecil berambut keriting itu. Aku baru sampai di depan penginapan. Maafkan aku, rupanya ceritaku tadi terlalu cepat, meski pemandangan tidak akan pernah berubah. Matahari membara seperti lempengan besi di tungku pembakaran. Matahari itu terbenam separuh, cahayanya membakar langit begitu rupa sehingga langit itu betul-betul membara. Aku menghela nafas. Aku sudah berada di Negeri Senja. Aku membayangkan wajah-wajah yang tidak akan pernah percaya jika aku menceritakannya. Aku tidak tahu apakah kau akan percaya padaku Alina – kurasa aku tidak akan pernah tahu, karena kau tidak pernah berbicara apa-apa kepadaku, hanya mendengarkan dengan mata penuh ingin tahu. Tapi kapankah aku akan pernah bertemu lagi denganmu Alina, jika aku tak pernah tahu apakah akan pernah kembali? Seperti juga aku tak pernah tahu, atau takut untuk tahu, apakah dikau menunggu atau tidak menunggu.
DIarsipkan di bawah: Cerita Pendek | Ditandai: negeri senja, senja

http://sukab.wordpress.com

comment:


Matahari Tidak Pernah Terbenam di Negeri Senja
Oleh Seno Aji

Seperti karya-karya Seno Aji yang lain, cerpen berjudul Matahari Tidak Pernah Terbenam di Negeri Senja ini pun masih juga menyuguhkan imaginasi dan rasa keingintahuan bagi pembacanya. Pembaca mana yang tidak ingin tahu Negeri Senja itu apa, dimana?dan mengapa di Negeri Senja Matahari tidak pernah terbenam. Pilihan kata yang sederhana namun memberikan makna yang membuat cerita tersebut menjadi menarik sehingga pembaca merasa ingin tau dan terus-menerus ingin membaca. Mungkin bagi sebagaian pembaca ada yang berfikir bahwa bahasa yang digunakan Seno Aji terlalu berlebihan dan agak “gila”karena agak tidak masuk akal, namun menurut saya itulah yang menarik.
Masih berhubungan dengan cerpen-cerpen karya Seno yang lain, seperti Senja Untuk Pacarku, Jawaban Alina, Negeri Senja, dan Matahari tidak pernah terbenam di Negeri Senja semua menggunakan keyword “Senja”, dicerpen ini diceritakan bahwa Sukab merantau ke berbagai negara di dunia dan berharap kasedihan dan sakit hatinya akan hilang seiring dengan berjalanannya waktu yang dia lewatkan. Lalu singkat cerita, sampailah dia di Negeri Senja, negeri yang tidak terdapat di peta namun keberadaannya nyata, dan ada sesuatu yang berbeda di Negeri Senja ini yaitu Matahari tidak pernah terbenam disini. Paragraf terakhir dari cerpen ini bisa merupakan jawaban kenapa kesedihan yang dihadapi Sukab, dimana dia bertanya-tanya apakah Alina mempercayai cerita dia tentang Negeri Senja atau tidak, karena Alina tidak pernah berkata apa-apa padanya, hanya mendengarkan dengan rasa ingin tahu, kegelisahan Sukab apa dia bisa bertemu dengan Alina lagi atau tidak, dan yang peling membuatnya takut adalah apakah Alina menunggunya kembali atau tidak.

Sepotong Senja Untuk Pacarku

Seno Gumira Adjidarma

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen Pililihan Kompas 1993

http://sukab.wordpress.com
cerpen yang selalu membuatku penasaran akan senja itu seperti apa, meski aku sudah baca berkali-kali tetap aja tak mengerti apa itu senja...hem, Seno memang ahli dalam bermain kata-kata, sederhana,tapi...sangaaaattt bermakna..kapan ya diriku bisa menghasilkan karya yang seperti itu..hwkakakakk...

Resency pilem Percy Jackson...


Resensi : Percy Jackson and the Olympians: The Lightning Thief
Setelah sukses memvisualisasikan seri novel Harry Potter, Chris Colombus kembali mencoba memfilmkan seri novel Percy Jackson, namun sayang film ini tidak sesukses film Harry Potter. Saya tertarik untuk menonton film ini semata-mata karena ingin tau sejarah Yunani yang menjadi latar cerita Percy Jackson namun dikemas dengan modern. Percy Jackson (Logan Lerman) diceritakan sebagai seorang mahasiswa Yancy Academy, memiliki penyakit disleksia, memiliki kemampuan untuk membaca tulisan Yunani. Kemampuan Percy itu berhubungan dengan jati diri ayahnya yang selama ini sudah meninggalkan dia dan ibunya. Ternyata, Percy seorang halfblood, dia merupakan keturunan dari Poseidon (Kevin McKidd) si dewa laut yang memiliki hubungan dengan manusia bernama Sally Jackson (Chatherine Keener) ibu Percy Jackson. Percy punya sahabat bernama Grover (Brandon T Jackson)si manusia kambing, yang nantinya akan membawa dia kedalam petualangan cerita dewa-dewa Yunani. Awal cerita film ini bermula dari Zeuz (Sean Bean) sang dewa Petir yang tiba-tiba menuduh Percy anak Poseidon yang mencuri petirnya dan harus dikembalikan selama sepuluh hari kalau tidak maka akan terjadi peperangan besar. Banyak yang menginginkan petir itu, salah satunya Hades (Steve Coogen). Dia mengirimkan monster-monster untuk menyerang Percy di dunia manusia, dan menyandra ibunya agar Percy memberikan petir itu padanya. Percy yang tidak tau apa-apa dibantu oleh Grover dan dosennya, Mr Brunner menuju sebuah camp perkumpulan para halfblood dan mempersiapkan peperangan. Di camp tersebut dia berkawan dengan Annabeth (Alexandra Dadario) anak dewi Athena. Percy dibantu dengan Grover dan Annabeth berpetualang untuk menyelamatkan ibu Percy, tantangan yang mereka hadapi cukup sulit, ada Medusa (Uma Thurman), Hydra, dan Lotus Flower yang diumpamakan sebagai Casino mewah. Bagian paling menarik saat mereka melawan Medusa, dengan tingkah kocak Grover membuat film ini menjadi tidak tegang, santai sehingga film ini cocok ditonton sebagai hiburan yang fun enjoyable, pemeran Percy yang menurut saya ganteng bisa memberikan nilai positif untuk film ini. Namun, jika dilihat dari segi cerita masih sangat kurang, kesan datar-datar saja dan menimbulkan banyak pertanyaan bagi penonton menjadi nilai kurang pada film ini. Saat menonton film ini, saya bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Zeus menuduh Percy yang mencuri petirnya, dan saya berharap diakhir film bisa menemukan jawaban, dan ternyata pertanyaan saya belum terjawab.

10/05/2010

Nge-Resensi Resensi Percy Jackson


Selasa, 09 Maret 2010
Percy Jackson and the Olympians: The Lightning Thief (2010)
Nilai: C+
Sutradara: Chris Columbus
Chris Columbus kali ini gagal untuk memulai seri adaptasi novel seperti yang ia lakukan pada Harry Potter. Saya pribadi belum pernah membaca novel Percy Jackson. Tetapi Saya memang tidak suka dengan plot film ini walaupun temanya memang menarik dan Saya merasakan bahwa ini adalah sebuah feel-good film. Nampaknya dewa laut Poseidon (Kevin McKidd) kembali melakukan poligami dengan manusia bernama Sally Jackson (Catherine Keener) sehingga menghasilkan manusia setengah dewa baru bernama Percy Jackson (Logan Lerman)-berbeda dengan Perseus walaupun akan ada banyak kemiripan diantara mereka. Ceritanya gampangan seperti ini ini: Percy dituduh telah mencuri petir milik Zeus (Sean Bean) dan diancam untuk mengembalikannya dalam 10 hari, di sisi lain, Hades (Steve Coogan) menginginkan petir itu dari Percy dengan cara menyandera sang ibu. Ditemani oleh anak Athena, Annabeth (Alexandra Daddario) dan manusia kambing, Grover (Brandon T. Jackson), Percy harus berhadapan dengan monster-monster yunani untuk melewati jalan tol menuju neraka. Ada banyak hal lucu di sini, mulai dari Medusa (Uma Thurman)-itu adalah bagian paling menarik dalam film ini, sequence di vegas yang diiringi lagu Lady Gaga, Hades yang diperankan Steve Coogan berpenampilan gaul dan (tanpa bermaksud rasis) dewa-dewa yunani tiba-tiba banyak yang menjadi negro. Filmnya memang fun dan enjoyable, cocok dicoba untuk mengisi waktu luang, tetapi filmnya tetap kurang berkenan karena dangkalnya cerita. Bahkan anak kecil pun tetap ingin tahu alasan yang logis mengapa Zeus awalnya menuduh Percy. Maaf untuk terlalu menganggap serius film ini. Saya pribadi merasa kalau cerita filmnya sudah mulai diputar-putar di area yang tidak masuk akal. (9 maret 2010).
Diposkan oleh Erdiawan Putra di 08:53

Komentar :
- Erdiawan Putra menuliskan sisi positif dan sisi negatif dari film Percy Jackson meskipun lebih banyak sisi negatif yang dituliskan. Saya setuju dengan pendapat Erdiawan (bagian yang berwarna biru). Film ini memang hanya menarik sebagai pengisi waktu luang, hanya karena pemeran Percy (Logan Lerman)nya yang ganteng. Dari sisi cerita pun demikian, dari awal film Percy tiba-tiba telah memiliki kekuatan untuk melawan fury (monster), bagaimana dia bisa dituduh mencuri petir Zeus padahal tahu sesuatu tentangnya pun tidak., kemudian teman dan gurunya yang ternyata seorang halfblood juga. Adegan seru di film ini saat Percy, Annabeth (anak Athena) dan Grover mencari mutiara biru untuk menuju tempat Hades, mereka melawan Medusa, Hydra dan “Lotus Flower”, dan yang paling seru memang ketika mereka melawan Medusa.
- Saat menonton film ini pun, saya merasa ingin tau jawaban-jawaban itu, dan sampai akhir film pun saya hanya bisa bilang “yah...kok cuma gini sih filmnya”..ada rasa tidak puas karena jawaban-jawabannya masih menggantung.

01/05/2010

“LEGIAN”di Kota Gudeg

Malioboro hanyalah nama sebuah Jalan di Jogja, namun namanya telah terkenal hingga mancanegara. Wiasatawan asing maupun domestik yang datang ke Jogja tak akan lengkap jika belum berkunjung ke Malioboro.
Letaknya yang berada di jantung kota Jogja membuat Malioboro tak pernah sepi dari pengunjung domestik maupun luar. Sebagai tempat tujuan wisata, Malioboro adalah surga belanja bagi para wisatawan yang hendak menghabiskan waktunya di Yogyakarta. Tempat yang menurut cerita berada satu garis lurus dengan Gunung Merapi, Tugu Jogja, Keraton dan Pantai Parangtritis ini menyajikan berbagai hiburan dan kesenangan untuk para wisatwan. Berjejernya kios-kios baju dan kerajinan khas kota Jogja dengan harga murah turut melengkapi keramaian di Malioboro. Tak hanya itu, wisatawan yang ingin bermalam tak perlu khawatir kesulitan mencari penginapan yang murah, karena ditempat ini telah tersedia pula penginapan dari harga mulai lima puluh ribuan sampai hotel bintang lima.
Mudahnya akses transportasi dan harga barang dagangan yang murah menjadi salah satu kelebihan Malioboro. Semua barang yang dijual di sepanjang Jalan Malioboro bisa ditawar dengan harga terjangkau. Transportasi umum seperti bus kota, taksi dan kereta api juga tersedia untuk melengkapi kemudahan mengakses malioboro. Transportasi tradisional seperti dokar dan becak pun tak mau ketinggalan, hanya dengan tiga ribu sampai lima ribu rupiah kita bisa berjalan-jalan keliling Malioboro dan Keraton dengan naik becak.
Sisi tradisional dan modern berjalan berdampingan di tempat yang disebut juga sebagai “Legian”nya Jogja ini. Hadirnya Beberapa pusat perbelanjaan modern seperti Malioboro Mall dan Ramai Mall tidak mengurangi sisi tradisional dari Malioboro. Pasar Beringharjo, benteng Vredebug, Istana Presiden, masih tetap menjadi minat wisatawan untuk berkunjung. Bahkan seringkali acara-acara modern diadakan di tempat-tempat tradisional tersebut.
Dari semua kenyamanan yang menjadikan daya tarik wisatawan untuk mengunjungi Malioboro, masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Trotoar yang berubah fungsi menjadi lahan parkir sedikit membuat ketidaknyamanan bagi pejalan kaki. Jalana utama yang sempit sementara arus kendaraan yang banyak tak jarang membuat sedikit kemacetan. Namun, masalah-masalah tersebut tak menyurutkan minat wisatawan yang berkunjung ke Malioboro.

01/05/2010

Mengais Rezeki Ditengah Polusi

Gunanto, sosok paruh baya ini terbilang cukup menarik jika dibandingkan dengan sopir-sopir kopata yang lain, penampilannya rapi, memakai celana jeans warna coklat dengan atasan kaos warna merah bergambar babi, ikat pinggang hitam, dan tak ketinggalan juga topi putih bertulisan Ardelas yang ia pakai untuk menutupi kepalanya yang sedikit botak. Laki-laki yang berumur 37 tahun ini telah bersahabat dengan bis kopata sejak tahun 2002, semula berawal dari pekerjaan sebelumnya yang dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga kemudian memutuskan untuk ikut dengan bis kopata. “dulu saya serabutan, trus kenal sama teman-teman yang kerja di terminal dan akhirnya diajakin gabung”, aku Gunanto sambil terus memacu busnya ke arah Malioboro.
Bus Jalur 4 yang bertrayek Kampus UGM-Malioboro-Giwangan-Kampus UGM telah menjadi tempat mengais rezeki bagi keluarga Gunanto selama hampir 3 tahun, setiap pagi sekitar pukul 06.30 WIB bus beroperasi hingga pukul 19.00 WIB. Hari libur seperti hari ini (Minggu, -Red)membuat bis kopata putihnya dipenuhi oleh penumpang yang ingin pergi ke Malioboro atau ke terminal Giwangan. Keadaan seperti inilah yang menjadi kesenangan dari seorang supir bus karena penghasilan akan bertambah. Jika penumpang sedang ramai, dalam sehari Gunanto bisa mendapatkan uang Rp.500.000,-, namun itu belum dipotong solar sekitar Rp.180.000,-sampai Rp.200.00,-, untuk setor kepada pemilik bus Rp.110.000,-sampai Rp.120.000,-, dan sisanya dibagi dengan kenek. Jadi, dalam sehari Gunanto hanya mendapatkan uang sekitar Rp.100.000,-, kalau penumpang sepi ia hanya membawa pulang sekitar Rp.50.000,-.
Kesetiaan dan tanggung jawab terhadap keluarga telah membuat Gunanto tetap bertahan menjadi sopir bus meski penghasilannya juga pas-pasan. Suka duka menjadi sopir bus telah dirasakan Gunanto, pernah suatu hari tak dapat setoran, tak dapat bayaran, lalu pulang ke Klaten dengan tangan hampa. Meski begitu, semangat untuk tetap mencari nafkah dan menyekolahkan anak tak pernah pupus meski terkadang muncul keinginan untuk mencari pekerjaan lain. Susahnya mencari lapangan kerja dan alasan harus belajar lagi jika ingin mencari kerja baru membuat ia terpaksa menekuni profesinya saat ini.” Rejeki itu beda-beda, walau hasilnya sedikit jika ditlateni yang sudah ada pasti hasilnya akan baik”, terangnya bersemangat.
Sudah menjadi hal biasa sopir angkutan umum kebut-kebutan, Gunanto pun demikian tetapi hanya pada jam-jam tertentu, misal pagi dan siang hari sedangakan saat sore tidak karena banyak armada bus yang sudah berhenti beroperasi. Selain itu, antar sopir bus ternyata memiliki aturan sendiri, jika ada bus yang muncul di belakang maka bus yang depan harus cepat jalan, ini bertujuan untuk meratakan penumpang.“kalau nggak ngebut malah dimusuhi temen-temen, kan sudah diberi waktu sendiri untuk berhenti dan tidaknya. Jadi kalau ada bus dibelakang yang depan harus cepet-cepet”, jelasnya. Gunanto termasuk sopir yang ramah kepada penumpang, ia berbicara dengan penumpang yang lebih tua atau lebih muda dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus termasuk kepada saya.
Banyak yang kita bisa pelajari dari seorang Gunanto, semangat, tanggung jawab, dan kesetiaannya terhadap pekerjaan. Semangat, berangkat subuh dari Klaten dan pulang magrib, melawan dinginnya udara pagi di Klaten, panasnya udara Jogja di siang hari hingga tak membawa pulang uang sama sekali, semua tetap ia lakukan karena rasa tanggungga jawab terhadap keluarga dan kesetiaannya terhadap pekerjaan, dan yang lebih penting adalah belajar bersyukur terhadap apa yang kita punya. “kalau rejeki lagi banyak ya disyukuri saja, nginget kalo lagi nggak dapat setoran sama sekali”, pungkasnya.

14/03/2010

BELOK KIRI JALAN TERUS???

Sabtu lalu saya menemani seorang kawan yang baru datang dari Surabaya untuk berjalan-jalan keliling kota Jogja. Kebetulan saya mendapat pinjaman motor, jadi kami bisa berkeliling kota Jogja seharian. Sengaja saya memacu motor ke arah Malioboro karena tempat ini tempat paling terkenal di Jogja. Sebenarnya jarak Malioboro dari UGM tidak terlalu jauh, tetapi karena cuaca sangat panas dan jalanan mulai macet membuat jarak itu terasa jauh. Disinilah kesabaran saya diuji. Betapa tidak, cuaca panas dan jalanan macet membuat pengendara semakin gerah, tak sabar ingin segera sampai tujuan, bahkan sebagian dari pengendara sampai melanggar lalu lintas. Sampai di perempatan lampu merah jalan Abu bakar Ali menuju Malioboro jalanan sudah sesak dipenuhi kendaraan yang ingin menuju malioboro. Saya pun menjadi terhenti karena jalan untuk belok kiri juga macet. Puncak kesabaran saya benar-benar diuji ketika seorang pengendara motor mengklakson saya agar segera jalan, padahal semua orang disitu mungkin sudah tau kalau jalan sedang macet. Hanya menunggu lampu merah yang tak sampai satu jam orang-orang sudah berisik membunyikan klakson. Saya heran, mengapa mereka tak sabar menunggu hal sepele yang apabila dilanggar justru bisa berbahaya. Padahal kesabaran adalah hal paling penting saat kita berkendara. Tetapi ada pemandangan menarik disitu, tiba-tiba ada seorang pengendara motor dari arah Abu Bakar Ali belok kiri menuju jalan Mataram, lalu berputar lagi dan belok kiri menuju Malioboro. Wow..saya langsung berpikir “kreatif sekali pengendara itu”. Tanpa berhenti dilampu merah pengendara motor bisa jalan terus ke Malioboro. Tak hanya itu saja, diperempatan sagan hal tersebut juga terulang. Pengendara motor dari arah UGM yang ingin ke arah Galeria tak perlu berhenti di lampu merah, begitu juga sebaliknya. Saya jadi teringat ada peraturan lalu lintas yang menyebutkan “belok kiri jalan terus”. Mungkin saja para pengendara itu telah memplesetkannya menjadi “kalo ingin jalan terus belok kiri saja”.

23/02/2010